Kisah Ibu dan Anak di Taman ...
Seorang ibu yang tua hidup bersama putrinya yang sangat disayangi. Ibu tua tersebut sudah tidak kuat berdiri sendiri. Jika ingin berjalan, harus menggunakan bantuan kursi roda. Suatu hari, sang ibu ingin menikmati suasana sore di taman sekitar kompleks perumahannya. Sang ibu ingin didampingi putrinya jalan-jalan di taman.
Ketika sudah di taman, si ibu melihat beberapa burung yang sedang makan dan bertanya kepada putrinya “itu burung apa??”
“Burung merpati, bu” anaknya menjawab dengan sopan.
Tak lama kemudian si ibu bertanya lagi.. “Yang disana itu burung apa?”
Sedikit kesal anaknya menjawab “ya merpati, bu…?!!”
Kemudian ibunya kembali bertanya, ” Lantas itu burung apa ?” sambil sang ibu menunjuk burung merpati tadi yang baru saja terbang…
Dengan nada kesal si anak menjawab “ya tetap merpati, bu… kan sama saja!..emangnya ibu gak liat burung itu terbang!”
Air menetes dari sudut mata sang ibu sambil berkata pelan… “Masihkah kamu ingat ketika dulu waktu usiamu 7 tahun, kita sering jalan-jalan sore bersama di taman ini…. Masih ibu ingat, sambil duduk-duduk aku memangkumu dan kamu menanyakan hal yang sama seperti yang ibu tanyakan barusan”. Sang ibu terdiam sebentar, lalu melanjutkan bicaranya, “ibu masih ingat, ibu menjawab pertanyaan yang sama untukmu sebanyak 10 kali,..sedang saat ini ibu hanya bertanya 3 kali, tapi kamu sudah membentak ibu 2 kali..”
Si anak kemudian terdiam…dan meneteskan air mata. Sambil memeluk sang ibu, sang anak berkata, “ibu… aku sayang ibu…. Maafkan anakmu ini…”.
________________________________________________________
Pernahkah kita memikirkan apa yang telah diajarkan oleh seorang ibu kepada kita ?. Sayangilah Ibumu dengan sungguh-sungguh karena surga berada di telapak kaki Ibu. Mohon ampunan jika kamu pernah menyakiti hati Ibumu.
Pernah kita ngomelin dia ? ‘Pernah!’
Pernah kita cuekin dia ? ‘Pernah!’
Pernah kita mikir apa yang dia pikirkan? ‘nggak!’
Sebenarnya apa yang Ibu fikirkan ? ‘Takut’
Takut ga’ bisa liat kita senyum, nangis atau ketawa lagi, Takut ga’ bisa ngajar kita lagi. Semua itu karena waktu dia singkat di dunia ini.. Saat ibu menutup mata. Gak akan lagi ada yang cerewet.
Saat kita menangis memanggil-manggi dia, apa yang dia balas? Dia cuma diam. Tapi bayangannya dia tetap di samping kita dan berkata : “anakku jangan menangis, ibu masih di sini. Ibu masih sayang kamu.”
*Sayangi orang tuamu, sobat,… Sungguh karena merekalah kita mampu bernafas hingga hari ini…
PEREMPUAN MUDA INI MENJADI IBU DARI 42 ANAK
Saat duduk di bangku SMA ia memiliki kehidupan normal dan semua berjalan dengan lancar. Lulus sekolah tepat waktu, nilai yang memuaskan, dan memiliki peluang untuk lanjut kuliah dan langsung mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang bagus. Tapi di suatu pagi, Maggie Doyne terbangun dengan perasaan hampa. Ia merasa tidak tahu apa tujuan hidupnya.
Seperti yang dilansir oleh teenvogue dot com, Maggie merasa tertekan dengan gagasan untuk melanjutkan kuliah. "Di detik-detik terakhir, aku memutuskan untuk tidak kuliah. Hal itu sangat mengejutkan untuk semua orang," ungkapnya. Meskipun ia tidak lanjut kuliah, ia mengikuti sebuah program satu tahun yang mengkombinasikan kelas bertahan hidup di ruang terbuka dan belajar memberikan pelayanan atau bantuan. Ia pun langsung memulai perjalanannya ke Asia Selatan.
Di semester kedua program tersebut, Maggie berada di India. Perjalanan dan petualangan yang didapatkannya sangat luar biasa. Ia pernah menghabiskan waktu beberapa hari untuk berjalan, trekking, dan mendaki gunung. Hingga ia berada pada suatu tempat di mana anak-anak dan para wanitanya hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Di titik itu, ia memutuskan untuk tinggal lebih lama di Kopila Valley. Juga meyakinkan orang tuanya untuk menransfer uang sebesar 5.000 dolar yang sudah ia tabung dari gaji mengasuh dan menjaga bayi. Uang itu lalu ia gunakan untuk membeli sebidang tanah dan membangun sebuah rumah untuk anak-anak. Kini, ada 42 anak yang memanggilnya "ibu".
Apa sih yang sebenarnya menginspirasi Maggie untuk mau repot-repot membangun rumah untuk anak-anak di tempat pedalaman dan sangat jauh ini? "Aku ingin memberi anak-anak ini sebuah masa kecil yang hampir sama dengan pernah kumiliki dulu, dengan keluarga dan cinta," jelasnya. Maggie sangat sedih dengan kondisi yang ia lihat saat itu. Anak-anak di bawah umur yang sudah dipekerjakan, mengemis di jalanan, dan menjadi pemecah batu di pinggir jalan. Jadi ia merasa bahwa anak-anak perlu mendapatkan pendidikan yang layak agar kehidupannya nanti bisa jauh lebih baik.
Tidak hanya membangun sekolah untuk anak-anak, Maggie juga membuat sebuah tempat khusus untuk wanita. "Di Nepal, banyak sekali hal tabu tentang menstruasi," ungkapnya. Di Nepal, perempuan yang sedang menstruasi tidak boleh tinggal di rumah apalagi tidur di rumah. Hal ini tentu saja sangat memicu pelecehan seksual atau kekerasan seksual pada wanita. Selain itu, perempuan yang sudah menstruasi bahkan banyak yang tidak sekolah, yaitu sekitar 75 persen. Masalah sanitasi juga menjadi perhatian utamanya, apalagi para perempuan tidak punya akses yang memadai untuk mendapatkan pembalut. Bagi Maggie, perjuangannya masih jauh dari sempurna.
"Jika kalian dulu memberitahuku bahwa saat aku berusia 16 tahun aku akan tinggal di Nepal dan menjadi ibu untuk 42 anak, aku akan berpendapat bahwa kalian adalah pembohong terbesar yang ada di dunia ini," jelasnya saat ia menyadari bahwa ternyata yang dikerjakannya sekarang adalah hal yang paling dicintainya. "Aku bangun setiap pagi mencintai pekerjaanku dan merasa bahwa aku memiliki pekerjaan paling sempurna di dunia ini. Rasanya seperti, apakah ini benar-benar nyata?
Seorang ibu yang tua hidup bersama putrinya yang sangat disayangi. Ibu tua tersebut sudah tidak kuat berdiri sendiri. Jika ingin berjalan, harus menggunakan bantuan kursi roda. Suatu hari, sang ibu ingin menikmati suasana sore di taman sekitar kompleks perumahannya. Sang ibu ingin didampingi putrinya jalan-jalan di taman.
Ketika sudah di taman, si ibu melihat beberapa burung yang sedang makan dan bertanya kepada putrinya “itu burung apa??”
“Burung merpati, bu” anaknya menjawab dengan sopan.
Tak lama kemudian si ibu bertanya lagi.. “Yang disana itu burung apa?”
Sedikit kesal anaknya menjawab “ya merpati, bu…?!!”
Kemudian ibunya kembali bertanya, ” Lantas itu burung apa ?” sambil sang ibu menunjuk burung merpati tadi yang baru saja terbang…
Dengan nada kesal si anak menjawab “ya tetap merpati, bu… kan sama saja!..emangnya ibu gak liat burung itu terbang!”
Air menetes dari sudut mata sang ibu sambil berkata pelan… “Masihkah kamu ingat ketika dulu waktu usiamu 7 tahun, kita sering jalan-jalan sore bersama di taman ini…. Masih ibu ingat, sambil duduk-duduk aku memangkumu dan kamu menanyakan hal yang sama seperti yang ibu tanyakan barusan”. Sang ibu terdiam sebentar, lalu melanjutkan bicaranya, “ibu masih ingat, ibu menjawab pertanyaan yang sama untukmu sebanyak 10 kali,..sedang saat ini ibu hanya bertanya 3 kali, tapi kamu sudah membentak ibu 2 kali..”
Si anak kemudian terdiam…dan meneteskan air mata. Sambil memeluk sang ibu, sang anak berkata, “ibu… aku sayang ibu…. Maafkan anakmu ini…”.
________________________________________________________
Pernahkah kita memikirkan apa yang telah diajarkan oleh seorang ibu kepada kita ?. Sayangilah Ibumu dengan sungguh-sungguh karena surga berada di telapak kaki Ibu. Mohon ampunan jika kamu pernah menyakiti hati Ibumu.
Pernah kita ngomelin dia ? ‘Pernah!’
Pernah kita cuekin dia ? ‘Pernah!’
Pernah kita mikir apa yang dia pikirkan? ‘nggak!’
Sebenarnya apa yang Ibu fikirkan ? ‘Takut’
Takut ga’ bisa liat kita senyum, nangis atau ketawa lagi, Takut ga’ bisa ngajar kita lagi. Semua itu karena waktu dia singkat di dunia ini.. Saat ibu menutup mata. Gak akan lagi ada yang cerewet.
Saat kita menangis memanggil-manggi dia, apa yang dia balas? Dia cuma diam. Tapi bayangannya dia tetap di samping kita dan berkata : “anakku jangan menangis, ibu masih di sini. Ibu masih sayang kamu.”
*Sayangi orang tuamu, sobat,… Sungguh karena merekalah kita mampu bernafas hingga hari ini…
PEREMPUAN MUDA INI MENJADI IBU DARI 42 ANAK
Saat duduk di bangku SMA ia memiliki kehidupan normal dan semua berjalan dengan lancar. Lulus sekolah tepat waktu, nilai yang memuaskan, dan memiliki peluang untuk lanjut kuliah dan langsung mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang bagus. Tapi di suatu pagi, Maggie Doyne terbangun dengan perasaan hampa. Ia merasa tidak tahu apa tujuan hidupnya.
Seperti yang dilansir oleh teenvogue dot com, Maggie merasa tertekan dengan gagasan untuk melanjutkan kuliah. "Di detik-detik terakhir, aku memutuskan untuk tidak kuliah. Hal itu sangat mengejutkan untuk semua orang," ungkapnya. Meskipun ia tidak lanjut kuliah, ia mengikuti sebuah program satu tahun yang mengkombinasikan kelas bertahan hidup di ruang terbuka dan belajar memberikan pelayanan atau bantuan. Ia pun langsung memulai perjalanannya ke Asia Selatan.
Di semester kedua program tersebut, Maggie berada di India. Perjalanan dan petualangan yang didapatkannya sangat luar biasa. Ia pernah menghabiskan waktu beberapa hari untuk berjalan, trekking, dan mendaki gunung. Hingga ia berada pada suatu tempat di mana anak-anak dan para wanitanya hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Di titik itu, ia memutuskan untuk tinggal lebih lama di Kopila Valley. Juga meyakinkan orang tuanya untuk menransfer uang sebesar 5.000 dolar yang sudah ia tabung dari gaji mengasuh dan menjaga bayi. Uang itu lalu ia gunakan untuk membeli sebidang tanah dan membangun sebuah rumah untuk anak-anak. Kini, ada 42 anak yang memanggilnya "ibu".
Apa sih yang sebenarnya menginspirasi Maggie untuk mau repot-repot membangun rumah untuk anak-anak di tempat pedalaman dan sangat jauh ini? "Aku ingin memberi anak-anak ini sebuah masa kecil yang hampir sama dengan pernah kumiliki dulu, dengan keluarga dan cinta," jelasnya. Maggie sangat sedih dengan kondisi yang ia lihat saat itu. Anak-anak di bawah umur yang sudah dipekerjakan, mengemis di jalanan, dan menjadi pemecah batu di pinggir jalan. Jadi ia merasa bahwa anak-anak perlu mendapatkan pendidikan yang layak agar kehidupannya nanti bisa jauh lebih baik.
Tidak hanya membangun sekolah untuk anak-anak, Maggie juga membuat sebuah tempat khusus untuk wanita. "Di Nepal, banyak sekali hal tabu tentang menstruasi," ungkapnya. Di Nepal, perempuan yang sedang menstruasi tidak boleh tinggal di rumah apalagi tidur di rumah. Hal ini tentu saja sangat memicu pelecehan seksual atau kekerasan seksual pada wanita. Selain itu, perempuan yang sudah menstruasi bahkan banyak yang tidak sekolah, yaitu sekitar 75 persen. Masalah sanitasi juga menjadi perhatian utamanya, apalagi para perempuan tidak punya akses yang memadai untuk mendapatkan pembalut. Bagi Maggie, perjuangannya masih jauh dari sempurna.
"Jika kalian dulu memberitahuku bahwa saat aku berusia 16 tahun aku akan tinggal di Nepal dan menjadi ibu untuk 42 anak, aku akan berpendapat bahwa kalian adalah pembohong terbesar yang ada di dunia ini," jelasnya saat ia menyadari bahwa ternyata yang dikerjakannya sekarang adalah hal yang paling dicintainya. "Aku bangun setiap pagi mencintai pekerjaanku dan merasa bahwa aku memiliki pekerjaan paling sempurna di dunia ini. Rasanya seperti, apakah ini benar-benar nyata?
Ibumu ... ibumu ... ibumu ...
Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun.
Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.
Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu engkau melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.
Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.
Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya.
Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.
Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.
Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.
Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.
Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu.
Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulan untuknya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.
Ya ALLOH ampunilah aku dan kedua Orangtuaku, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi aku sewaktu aku masih anak anak ... aamiiin
Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun.
Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.
Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu engkau melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.
Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.
Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya.
Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.
Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.
Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.
Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.
Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu.
Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulan untuknya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.
Ya ALLOH ampunilah aku dan kedua Orangtuaku, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi aku sewaktu aku masih anak anak ... aamiiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar